Para
Perempuan Cemerlang dalam Peradaban Islam
Panggung peradaban Islam, tak
hanya dominasi laki-laki. Perempuan, muncul pula memberikan kontribusi. Mereka,
menunjukkan kecemerlangan pemikirannya dalam beragam bidang. Hal ini, telah
bermula sejak zaman Nabi Muhammad dan para sahabatnya saat merintis masyarakat
berperadaban.
Salim T S Al Hassani, profesor
emiritus di University
of Manchester , Inggris,
dalam tulisannya, ‘Women’s Contribution to Classical Islamic Civilisation:
Science, Medicine and Politics’, menyatakan, selain dalam bidang agama mereka
juga berkiprah di bidang ilmu pengetahuan. Sejumlah perempuan memiliki
kemampuan dalam bidang medis.
Kemunculan mereka terkadang
dipicu oleh suatu peristiwa peperangan yang tak terelakkan. Di antara mereka
ada Rufayda Al Aslamiyyah, yang mengawali kariernya merawat para tentara
terluka. Ada
pula nama-nama lainnya, yang menguasai matematika.
Rufayda
al-Aslamiyyah
Perempuan ini sering pula
dipanggil dengan nama Rufayda binti Sa’ad. Ia dianggap sebagai perawat pertama
dalam lintasan sejarah Islam, yang hidup pada zaman Nabi Muhammad.
Dalam Perang Badar pada 13
Maret 624 Hijriyah, ia bertugas merawat mereka yang terluka dan mengurus
personel yang meninggal dunia.
Rufayda belajar pengetahuan
medis dari ayahnya, Saad Al Aslamy, yang juga seorang dokter. Ia sering
membantu ayahnya mengobati pasien. Pada akhirnya, ia yang sarat pengalaman
mengabdikan diri dalam bidang yang dikuasainya. Ia mewujud menjadi seseorang
yang andal dalam bidangnya.
Dalam praktiknya, ia sering
menjalankan keahliannya di rumah sakit lapangan berbentuk sebuah tenda. Saat
itu, Nabi Muhammad memerintahkan untuk membawa anggota pasukan yang terluka ke
rumah sakit lapangan tersebut. Selain kepandaian dalam bidang medis, Rufayda
dikenal sebagai sosok yang empatik.
Tak hanya itu, Rufayda
merupakan seorang organisatoris yang baik pula. Ia aktif mengajarkan
keahliannya kepada perempuan lainnya dan menjadi seorang pekerja sosial.
Biasanya, ia membantu memecahkan masalah-masalah sosial yang terkait dengan
penyakit.
Shifa
binti Abdullah
Lalu, muncul pula nama lain, Al
Shifa binti Abdullah al Qurashiyah al’Adawiyah. Nama lain yang lekat pada
dirinya adalah Laila. Kepiawaianya dalam bidang medis ditopang oleh
kemampuannya dalam membaca. Sebab, saat itu banyak orang buta huruf dan tentu
tak bisa mengakses pengetahuan.
Layaknya Rufayda, Al Shifa tak
pelit dengan ilmu yang dimilikinya. Ia menebar ilmu medis yang ia kuasainya,
meski dalam hal yang sangat sederhana. Misalnya, pengobatan terhadap gigitan
semut. Kemudian, Rasulullah SAW memintanya untuk mengajarkan hal itu kepada
perempuan lainnya.
Al Shifa pun multitalenta. Ia
tak hanya dominan pada bidang medis. Namun, ia pun sangat terampil dalam
administrasi publik dan dikenal dengan kebijaksanaannya.
Nusayba
binti Harith
Nusayba binti Harith Al Ansari
hadir sebagai sosok lain. Ia merawat para prajurit terluka. Ia juga seorang
tabib khitan. Masa pun berjalan. Pada abad ke-15, seorang ahli bedah dari
Turki, Serefeddin Sabuncuoglu (1385-1468), penulis karya tentang bedah,
Cerrahiyyetu’l-Haniyye. Dia tak ragu menggambarkan secara terinci mengenai
prosedur gineologi atau menggambarkan perawatan terhadap pasien perempuan.
Bukan hanya menggambarkan,
namun Sabuncuoglu pun bekerja dengan para ahli bedah perempuan. Saat itu,
dikabarkan rekan-rekannya di dunia Barat, malah menentang bekerja sama dengan
para perempuan. Bahkan, dalam bukunya, ia menggambarkan bagaimana para ahli
bedah perempuan menjalankan pekerjaannya.
Sutayta
Al-Mahamli
Pakar matematika ini hidup pada
paruh kedua abad ke-10. Ia berasal dari keluarga berpendidikan tinggi di Baghdad , Irak. Ayahnya,
Abu Abdallah Al Hussein, menjabat sebagai seorang hakim yang juga penulis
sejumlah buku, termasuk Kitab fi Al Fiqh dan Salat Al’idayn.
Sang ayah tak memandang sebelah
mata Sutayta yang berjenis kelamin perempuan itu. Ia mengajarkan ilmu
pengetahuan kepada anaknya, bahkan mendatangkan sejumlah guru. Banyak hal yang
diajarkan namun Sutayta terpikat hatinya pada matematika.
Sejumlah cendekiawan yang
pernah menjadi gurunya adalah Abu Hamza bin Qasim, Omar bin Abdul-’Aziz Al
Hashimi, Ismail bin Al Abbas Al Warraq, dan AbdulAlghafir bin Salamah Al Homsi.
Sejumlah sejarawan, Ibnu Al Jawzi, Ibnu Al Khatib Baghdadi, dan Ibnu Katsir,
memuji kemampuan Sutayta dalam matematika. Sutayta sangat menguasai hisab atau
aritmatika dan perhitungan waris.
Kedua cabang matematika
tersebut berkembang dengan baik di zamannya. Dalam aljabar, ia berhasil
menemukan sebuah persamaan yang pada masa selanjutnya, sering dikutip oleh
pakar matematika lainnya.
Bidang ilmu lain yang juga
dikuasainya adalah sastra Arab, ilmu hadis, dan hukum. Setelah lama bergelut
dengan angka dan memberikan kontribusinya dalam bangunan peradaban Islam,
akhirnya Allah SWT memanggilnya. Ia mengembuskan napas terakhir pada 987
Masehi.
Labana
dari Kordoba
Pada masa pemerintahan Islam,
Kordoba menjadi salah satu pusat peradaban. Kota ini, bahkan menjadi salah satu lumbung
orang-orang berotak cerdas. Salah satunya adalah perempuan yang bernama Labana.
Matematika menjadi bidang kajian yang ia kuasai.
Labana dikenal dengan
kemampuannya menyelesaikan beragam masalah matematika yang sangat pelik, baik
aritmatika, geometri, maupun aljabar. Saat itu, tak banyak ilmuwan laki-laki
yang mampu memecahkan masalah sepelik itu. Melalui kecerdasannya, ia menuai buah
manis. Ia menjadi pegawai pemerintah.
Labana menjadi sekretaris
Khalifah Al Hakam II dari Dinasti Bani Ummayah. Jatuhnya jabatan sekretaris ke
tangan Labana, menunjukkan khalifah tak mempetimbangkan jenis kelamin. Namun,
ia lebih mementingkan kepandaian dan kemampuan yang dimiliki Labana.
Pada masa itu, sejumlah
perempuan bernasib sama dengan Labana. Para
perempuan yang menguasai suatu bidang, akan mendapatkan penghargaan tinggi dari
pemerintah. Kalau memang bersedia, para perempuan itu mendapatkan posisi di
pemerintahan.
Sumber:
republika.co.id
Tiada ulasan:
Catat Ulasan